oleh Rappung Samuddin,Lc
Kisah ini mulanya aku dengar dari
kaset ceramah Syaikh al-‘Arify, “al-Musytaqqun Ilal jannah”. Sumber
asalnya dari kitab “Shifah as-Shafwah”, karya Ibnul Jauzi, juga
“Masyari’ al-Aswaq”, oleh Ibnu Nahhas. Dari seorang mujahid kesohor, Abu
Qudamah al-Syami. Ceritanya agak panjang. Namun Di sini, aku akan
ceritakan ulang secara ringkas, dengan harapan semoga meninggalkan bekas.
Suatu hari, saat beliau tawaf di Baitullah, seorang menghampirinya,
“Wahai Abu Qudamah, sungguh Allah telah tanamkan dalam dirimu kecintaan
pada Jihad. Ceritakan padaku sesuatu paling mengagumkan yang pernah Anda
saksikan dalam medan jihad…!”. Abu Qudamah berkata: “Baiklah. Kala
pecah perang antara kaum muslimin dan golongan Nashara di Raqqah, aku
bangkit menyeru penduduknya untuk bergabung. Aku sampaikan janji-janji
akan surga, kedudukan syuhada’, serta pahala yang agung di sisiNya…
Saat aku kembali ke penginapan, tiba-tiba pintu diketuk. Aku
terperanjat. Rasanya, tidak ada seorang pun kenalan di kota ini. Tidak
pula kerabat dan sahabat. Ragu kuraih gagang pintu, dan membukanya.
Ternyata seorang wanita berdiri di sana. Dalam keterkejutan, aku
bergumam, “Audzubillahi minas Syaithanir Rajim”, “Apa yang anda inginkan
wahai amatullah (hamba Allah)?”, tanyaku. “Benarkan Anda Abu Qudamah?”,
ia balik bertanya. “Iya, benar”, jawabku. Tiba-tiba ia berikan padaku
bingkisan kecil dan sehelai surat, lalu berpaling pergi sambil menangis.
Surat itu berbunyi “Wahai Abu Qudamah, hari ini Anda menyeru penduduk
kota untuk berperang melawan kaum salibis. Sayangnya, aku seorang wanita
yang tidak punya kesanggupan. Tapi aku sangat berharap… Olehnya, aku
berikan padamu sesuatu paling berharga yang aku miliki. Mohon jadikan ia
tali kekang kudamu dalam perang di jalan Allah. Semoga Allah berkenan
menerima dan mengampuni dosaku…”. Aku bergegas membuka bingkisan itu.
Ternyata, seikat rambut wanita yang digelung hingga menyerupai seutas
tali kekang.
Keesokan harinya, saat pasukan kaum muslimin
berderap menuju medan jihad, dari kejauhan nampak seorang remaja belia
menunggang kuda, lengkap dengan pakaian perangnya. Umurnya belum genap
enam belas tahun. Aku iba padanya. Pelan kukatakan padanya, “Engkau
masih sangat belia. Pengalaman perangmu pun belum ada. Aku khawatir
engkau terbunuh sia-sia dalam perang ini. Sebaiknya kembalilah dan
berbakti pada orang tuamu…”. Remaja itu menolak keras. Bahkan membacakan
sebuah ayat, yakni surah al-Anfal ayat 15-16, tentang ancaman bagi yang
mundur dari medan perang, “Duhai paman, apakah engkau rela aku menjadi
ahli neraka??”. Aku pun menyela, lalu menjelaskan padanya makna
sebenarnya dari ayat itu, “Wahai anakku, kami berjihad ini semata-mata
agar selamat dari api neraka”. Namun ia bersikukuh menolak. Hingga
dengan berat hati aku izinkan ia bergabung bersama pasukan.
Ternyata ia hapal al-Qur’an. Ketangkasan berkudanya pun layak diacungi
jempol. Tak berlalu waktu sedetikpun melainkan lisannya bergerak
melantunkan ayat-ayat Allah atau mengeja lafadz-lafadz dzikir… Hingga
saat perang akan segera pecah, aku mendapatinya tidur sambil tertawa.
Tawanya keras sekali. Lalu kaget dan terbangun. “Demi Allah kabarkan
padaku, mengapa engkau tertawa dalam tidurmu?”, sergahku. “Wahai paman,
ini adalah rahasia antara kita berdua. Sungguh, aku bermimpi bertemu
“Mardhiyah”, sahutnya. “Siapa Mardhiyah itu”, tanyaku penasaran. “Duhai
paman, ia adalah bidadari tercantik di surga. Saat aku hendak meraihnya,
ia berkata padaku, waktumu sudah dekat, waktumu sudah dekat,…ba’da
dhuhur insyaAllah”. Aku terpana sambil menangis. Kupeluk erat remaja
belia itu. Hingga kemudian berkecamuklah perang hebat.
Akhirnya kaum muslimin meraih kemenangan. Pasukan Nashara mundur
menenteng kerugian jiwa dan materi. Setiap dari pasukan kaum muslimin
bergegas mencari sanak saudara yang gugur atau terluka. Tiba-tiba aku
ingat remaja belia itu. Aku berlari membelah barisan pasukan. Mencari di
setiap sudut-sudut medan itu. Lamat-lamat aku menangkap rintihan lirih,
“Tolong, panggilkan paman Abu Qudamah…panggilkan paman Abu Qudamah…”.
Aku menghambur menuju suara itu. Ia adalah remaja belia yang aku cari.
Terkapar dengan tubuh penuh sabetan pedang dan tikaman tombak. Di
sisinya tergelak beberapa pasukan Nashara yang berhasil ia lumpuhkan.
Segera kuraih remaja itu. Memeluknya sambil menangis. Kuseka darah yang
terus merembes dari cela-cela lukanya. Pelan ia berbisik, “Paman, jika
paman tiba di kota, perlihatkan pakaian yang aku kenakan ini pada ibuku.
Sampaikan, bahwa Allah Ta’ala telah menerima hadiahnya…!!”. “Demi Allah
aku tidak mengenal siapa ibumu”, sahutku serak. “Subhanallah, begitu
cepat paman lupa. Ibuku adalah wanita yang memberikan paman bingkisan
berisi gelungan rambut untuk dijadikan kekang kuda. Hiburlah ia. Sungguh
di tahun pertama ia kehilangan ayahku, dan pada tahun ini ia akan
kehilangan aku…”. Beberapa saat kemudian, bibirnya mengeja dua kalimat
syahadah, lalu menghembuskan nafas terakhir.
Setelah peristiwa
itu, aku tidak memiliki selera apapun melainkan ingin segera menemui
wanita mulia itu. Setelah berkeliling dan bertanya, aku pun menemukan
tempat tinggalnya. Seorang anak perempuan keluar sesaat setelah pintu
kuketuk. Demi melihatku seorang diri sambil menenteng pakaian berlumuran
darah, tiba-tiba ia berseru latang lalu jatuh pingsan. Sang ibu segera
keluar. Sambil memeluk putrinya ia bertanya, “Wahai Abu Qudamah, engkau
datang untuk ta’zitah (belasungkawa) atau tahni’ah (mengucapkan
selamat)?”. “Apa maksud ta’ziyah dan tahni’ah itu”, tanyaku heran. “Jika
anakku mati wajar, berarti ia adalah ta’ziyah. Namun jika ia mati
syahid, maka ia adalah tahni’ah”, jawabnya. “Dia mati syahid insyaAllah…
Ini, aku bawakan engkau pakaian yang ia kenakan saat bertempur melawan
musuh. Sungguh ia gugur dalam keadaan tegak berhadapan dan tidak
mundur…”.
“Alhamdulillah, semoga Allah menerima hadiahku
untukNya”. Sahut wanita itu pelan. Kemudian ia menarik putrinya dan
menutup pintu. Aku merasa bahwa putrinya itupun telah menghembuskan
nafas terakhir… Aku tetap diam mematung. Masih banyak yang hendak aku
tanyakan tentang diri wanita mulia itu. Disamping ingin memberikan
sesuatu untuk bekal hidupnya. Juga agar dapat aku ceritakan pada
khalayak tentang kemuliaannya, agar ia dihargai di tengah-tengah mereka.
Namun sekian lama aku mengetuk pintunya, tak ada satupun jawaban dari
dalam rumahnya. Demi Allah, hingga saat ini, aku tidak mengetahui siapa
wanita mulia itu….”.
Hmm, begitulah keajaiban iman. Seringkali
ia melahirkan sikap dan pendirian ajaib. Termasuk kisah wanita mulia
ini. Baginya tak ada yang pantas dihadiahkan untuk Allah melainkan
sesuatu yang paling berharga dalam hidup. Dan ia telah lakukan… Bedanya
dengan kita. Untuk Allah, kadang sekeping receh begitu berat keluar dari
saku kita. Kendati sisanya masih begitu banyak tergoret dalam
catatan-catatan rekening kita. Sebab orientasi kita adalah kehidupan
fana ini. Dan bukan apa yang ada di balik kefanaan dunia itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar