by Melati on Thursday, January 6, 2011 at 8:14am
KAMU ITU MUNAFIK"
kadang kaget denger kata2 seperti diatas, sebuah penghakiman atau sebuah fakta atau sebuah hinaan
Munāfiq atau Munafik (kata benda, dari bahasa Arab: منافق, plural munāfiqūn) adalah terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.
Dalam Al Qur'an terminologi ini merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-pura beriman.
QS (63:1-3)
(1)Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
(2)Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.
(3)Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.
Hadist mengatakan :"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim'').
Rasanya kita tidak boleh untuk mudah menjatuhkan tuduhan munafik kepada sesama saudara muslim. Karena tuduhan munafik ini sulit untuk dibuktikan secara hukum. Berbeda dengan tuduhan kafir yang bisa ditetapkan secara hukum. Itu pun sebenarnya harus lewat lembaga resmi berupa mahkamah syar''iyah yang formal dan punya kekuatan hukum.
Bahkan di zaman Rasulullah SAW, kita tidak menemukan lembaga yang memvonis kemunafikan seseorang. Munafiknya seseorang tidak pernah diumumkan secara formal. Sebaliknya, menjadi rahasia yang ditutup rapat oleh Rasulullah SAW.
Hanya ada satu orang shahabat yang tercatat sebagai orang yang diberikan informasi rahasia ini, yaitu Hudzaifah Ibnul Yaman. Maka beliau dijuluki shahibu sirri rasulillah. Hanya beliau inilah yang diberi informasi oleh Rasulullah SAW tentang siapa saja yang termasuk munafikin.
Kalau di masa Rasulullah SAW, urusan siapa munafik ini sedemikian ketat dijaga, agar tidak terjadi tindakan saling tuduh menafik, maka sekarang ini kita harus lebih hati-hati, untuk tidak dengan mudah mengeluarkan tuduhan munafik kepada sesama umat Islam.
Sebab gelar munafik itu sangat berat bagi pelakunya. Bukankah Allah SWT telah menetapkan bahwa orang-orang munafik itu tempatnya di dalam neraka yang paling bawah?
Sesungguhnya orang-orang munafik itu pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.(QS. An-Nisa'': 145)
Maka masih tegakah kita untuk menyebut sesama muslim sebagai munafik? Apakah kita rela saudara kita yang muslim, Bahkan Mungkin Istri/suami kita sendiri kita tempatkan di dasar neraka? Tidak adakah gelar atau sebutan lain yang lebih manusiawi dan elegan untuk mereka?
Beberapa hari yang lalu saya membaca satu reading passage menarik yang mengatakan perbedaan customs (adat) antara orang UK (United Kingdom – Inggris) dan US (United States – Amerika). Penduduk US cenderung lebih blak-blakan, menyampaikan sesuatu secara terbuka dan apa adanya: jelek ya dibilang jelek, sedangkan sesuatu yang bagus ya dibilang bagus dan diapresiasi. Sedangkan penduduk UK cenderung lebih berusaha untuk polite: Cenderung berusaha tidak menyakiti persaaan lawan bicara dengan mengungkapkan ketidak sukaannya dalam isyarat atau kiasan dari pada pernyataan secara langsung.
Ini topik pembicaraan saya dengan beberapa rekan saya selama beberapa hari belakangan:
Kita perlu belajar untuk tidak munafik.
Dalam pandangan pribadi saya, kita warga indonesia pada umumnya lebih cenderung mirip orang UK: mengutamakan kesantunan, tapi sedikit mengesampingkan kejelasan dan tujuan. Saat kita mendapati seseorang diatas kita (entah itu atasan, orang tua, dosen, atau apapun) mengatakan sesuatu yang sejatinya bertentangan dengan pendapat kita, kebanyakan masyarakat kita cenderung nrimo saja: mengatakan iya didepan mereka dengan dalih kesopanan dan lalu berkomentar pedas saat mereka tidak ada.
Hei, kesantunan macam apa itu?
Dan hal kecil namun tidak bisa kita anggap sepele ini terus terjadi setiap harinya. Berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan dan berbagai bentuk komunikasi dan kepada banyak orang: Rekan, sahabat, pasangan, kolega, pembimbing, orang tua, dsb. Entah telah berapa juta kali kita membahasakan “tidak” dengan kata “iya” dengan dalih “enggak-enak” yang kedepannya berakibat fatal.
Saya yakin, kita semua perlu belajar untuk lebih jujur dan terbuka.
Katakanlah kejujuran meskipun hal tersebut pahit, -ujar petuah bijak yang pernah kita dengar.
Mungkin awalnya orang sekitar akan menganggap anda blak-blakan, ekspresif, egois, dan sebagainya karena anda kini lebih jujur dalam mengutarakan apa yang sebenarnya benar-benar anda inginkan. Tapi hey! Hidup yang lebih jujur membawa anda kepada kehidupan yang lebih penuh kan?
Saya yakin bahwa kejujuran (terutama kepada diri sendiri) adalah kualitas yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain: kualitas yang membedakan anda selangkah lebih baik daipada orang-orang sekitar anda.
Utamakan kejujuran, tapi sampaikan dengan sikap yang sopan dan santun. Bagaimana anda akan mencapai keindahan jika cara-cara anda tidak indah?
Pendapat anda? Sampaikanlah dengan jujur
Hari ini, saya belajar banyak dari kehidupan, dan bersyukur karenanya
Tambahan Sebuah Ayat Quran
لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
[4.148] Allah tidak menyukai ucapan buruk (mencaci maki; atau menceritakan keburukan orang lain; dan sebagainya), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Bagaimana dengan kita?
kadang kaget denger kata2 seperti diatas, sebuah penghakiman atau sebuah fakta atau sebuah hinaan
Munāfiq atau Munafik (kata benda, dari bahasa Arab: منافق, plural munāfiqūn) adalah terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.
Dalam Al Qur'an terminologi ini merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-pura beriman.
QS (63:1-3)
(1)Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
(2)Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.
(3)Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.
Hadist mengatakan :"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim'').
Rasanya kita tidak boleh untuk mudah menjatuhkan tuduhan munafik kepada sesama saudara muslim. Karena tuduhan munafik ini sulit untuk dibuktikan secara hukum. Berbeda dengan tuduhan kafir yang bisa ditetapkan secara hukum. Itu pun sebenarnya harus lewat lembaga resmi berupa mahkamah syar''iyah yang formal dan punya kekuatan hukum.
Bahkan di zaman Rasulullah SAW, kita tidak menemukan lembaga yang memvonis kemunafikan seseorang. Munafiknya seseorang tidak pernah diumumkan secara formal. Sebaliknya, menjadi rahasia yang ditutup rapat oleh Rasulullah SAW.
Hanya ada satu orang shahabat yang tercatat sebagai orang yang diberikan informasi rahasia ini, yaitu Hudzaifah Ibnul Yaman. Maka beliau dijuluki shahibu sirri rasulillah. Hanya beliau inilah yang diberi informasi oleh Rasulullah SAW tentang siapa saja yang termasuk munafikin.
Kalau di masa Rasulullah SAW, urusan siapa munafik ini sedemikian ketat dijaga, agar tidak terjadi tindakan saling tuduh menafik, maka sekarang ini kita harus lebih hati-hati, untuk tidak dengan mudah mengeluarkan tuduhan munafik kepada sesama umat Islam.
Sebab gelar munafik itu sangat berat bagi pelakunya. Bukankah Allah SWT telah menetapkan bahwa orang-orang munafik itu tempatnya di dalam neraka yang paling bawah?
Sesungguhnya orang-orang munafik itu pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.(QS. An-Nisa'': 145)
Maka masih tegakah kita untuk menyebut sesama muslim sebagai munafik? Apakah kita rela saudara kita yang muslim, Bahkan Mungkin Istri/suami kita sendiri kita tempatkan di dasar neraka? Tidak adakah gelar atau sebutan lain yang lebih manusiawi dan elegan untuk mereka?
Beberapa hari yang lalu saya membaca satu reading passage menarik yang mengatakan perbedaan customs (adat) antara orang UK (United Kingdom – Inggris) dan US (United States – Amerika). Penduduk US cenderung lebih blak-blakan, menyampaikan sesuatu secara terbuka dan apa adanya: jelek ya dibilang jelek, sedangkan sesuatu yang bagus ya dibilang bagus dan diapresiasi. Sedangkan penduduk UK cenderung lebih berusaha untuk polite: Cenderung berusaha tidak menyakiti persaaan lawan bicara dengan mengungkapkan ketidak sukaannya dalam isyarat atau kiasan dari pada pernyataan secara langsung.
Ini topik pembicaraan saya dengan beberapa rekan saya selama beberapa hari belakangan:
Kita perlu belajar untuk tidak munafik.
Dalam pandangan pribadi saya, kita warga indonesia pada umumnya lebih cenderung mirip orang UK: mengutamakan kesantunan, tapi sedikit mengesampingkan kejelasan dan tujuan. Saat kita mendapati seseorang diatas kita (entah itu atasan, orang tua, dosen, atau apapun) mengatakan sesuatu yang sejatinya bertentangan dengan pendapat kita, kebanyakan masyarakat kita cenderung nrimo saja: mengatakan iya didepan mereka dengan dalih kesopanan dan lalu berkomentar pedas saat mereka tidak ada.
Hei, kesantunan macam apa itu?
Dan hal kecil namun tidak bisa kita anggap sepele ini terus terjadi setiap harinya. Berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan dan berbagai bentuk komunikasi dan kepada banyak orang: Rekan, sahabat, pasangan, kolega, pembimbing, orang tua, dsb. Entah telah berapa juta kali kita membahasakan “tidak” dengan kata “iya” dengan dalih “enggak-enak” yang kedepannya berakibat fatal.
Saya yakin, kita semua perlu belajar untuk lebih jujur dan terbuka.
Katakanlah kejujuran meskipun hal tersebut pahit, -ujar petuah bijak yang pernah kita dengar.
Mungkin awalnya orang sekitar akan menganggap anda blak-blakan, ekspresif, egois, dan sebagainya karena anda kini lebih jujur dalam mengutarakan apa yang sebenarnya benar-benar anda inginkan. Tapi hey! Hidup yang lebih jujur membawa anda kepada kehidupan yang lebih penuh kan?
Saya yakin bahwa kejujuran (terutama kepada diri sendiri) adalah kualitas yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain: kualitas yang membedakan anda selangkah lebih baik daipada orang-orang sekitar anda.
Utamakan kejujuran, tapi sampaikan dengan sikap yang sopan dan santun. Bagaimana anda akan mencapai keindahan jika cara-cara anda tidak indah?
Pendapat anda? Sampaikanlah dengan jujur
Hari ini, saya belajar banyak dari kehidupan, dan bersyukur karenanya
Tambahan Sebuah Ayat Quran
لَّا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
[4.148] Allah tidak menyukai ucapan buruk (mencaci maki; atau menceritakan keburukan orang lain; dan sebagainya), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Bagaimana dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar